oleh: Subhan Asfari (Inspektur CPOTB)
Selama bertahun-tahun, kita menganggap bahwa kesalahan manusia adalah penyebab langsung dari suatu temuan. Dalam investigasi, human error sering dijadikan kesimpulan akhir, seperti prosedur tidak diikuti, kurang perhatian, atau sekadar ditulis human error. Biasanya, tindakan korektif yang diberikan adalah pelatihan ulang, meskipun tidak selalu relevan. Pendekatan ini keliru karena tidak menyentuh akar masalah. Mengatakan “hati-hati ya” atau melakukan pelatihan ulang tidak akan mengurangi human error secara signifikan.
Beberapa dekade terakhir, pemahaman kita berubah berkat perkembangan ilmu psikologi industri dan human reliability. Investigasi kecelakaan besar seperti Chernobyl dan Challenger menunjukkan bahwa human error adalah gejala dari masalah yang lebih dalam, bukan akar masalah.
Banyak produsen OBA, OK dan SK yang masih menjadikan “human error” dan “pelatihan ulang” sebagai kombinasi penyebab dan tindakan korektif dalam laporan investigasi temuan. Ini merupakan penggunaan berlebihan dan salah kaprah. Di era sekarang, kita harus berhenti menggunakan human error sebagai root cause. Pertanyaan yang benar adalah “Mengapa seseorang bisa melakukan kesalahan?”
Ketika human error terlalu sering disebut sebagai penyebab, itu menjadi tanda bahwa investigasi tidak dilakukan secara mendalam. Banyak masalah yang tampak seperti akibat human error, terutama jika terjadi berulang, yang sebenarnya berasal dari kelemahan pada proses atau sistem. Kalau proses dan sistemnya tidak diperbaiki, masalah akan terus muncul meskipun kesalahan selalu dikatakan sebagai human error.
Kita harus menginvestigasi human error dengan cara yang sama seperti kita menangani setiap penyimpangan dalam sistem mutu. Human error adalah gejala, tugas kita adalah menemukan faktor penyebabnya (human factors) untuk sampai pada akar masalah. Karena kasus human error melibatkan seseorang dalam perusahaan, kita harus memberi kesempatan bagi mereka untuk menjelaskan sudut pandang mereka.
Wawancara dengan pekerja yang terlibat adalah metode paling penting dalam penyelidikan human error. Tujuannya bukan hanya bertanya, tetapi mencari tahu mengapa seseorang tidak mengikuti prosedur atau mengapa keputusan tertentu diambil hingga memicu masalah. Berikut adalah hal penting yang harus diperhatikan dalam wawancara dengan pekerja:
1) Kita Sedang Mewawancarai, Bukan Menginterogasi
Bentuk percakapan penyelidikan dapat sangat bervariasi, mulai dari obrolan santai hingga diskusi yang tegang dengan orang yang dianggap bertanggung jawab. Semakin dekat seseorang dengan insiden, biasanya semakin tinggi kecemasan mereka. Kekhawatiran muncul karena mereka terlibat langsung, mengetahui situasinya, atau khawatir disalahkan.
Tujuan wawancara yang efektif adalah mendapatkan informasi yang relevan untuk investigasi. Ciri wawancara yang baik:
a. dilakukan dengan nada tidak mengancam dan tidak menyalahkan,
b. waktunya relatif singkat (15 menit–1 jam),
c. bisa dilakukan dengan atau tanpa privasi penuh,
d. hasil percakapan harus dibuatkan laporan tertulis.
2) Persiapan Sebelum Melakukan Wawancara
Wawancara efektif dilakukan oleh orang yang memahami proses dan isu yang sedang diselidiki. Jika investigator tidak paham, pekerja bisa “mengendalikan” percakapan atau memberikan jawaban yang menyesatkan. Investogator harus mempelajari latar belakang insiden agar bisa mengenali jawaban yang tidak akurat atau tidak konsisten. Pengetahuan teknis membuat penyelidik percaya diri dan dapat membaca jawaban dengan tepat.
3) Cara Membuka Wawancara
Wawancara harus dimulai dengan ramah dan profesional. Hindari sikap arogan atau agresif, karena akan menghambat informasi. Wawancara terkait insiden yang berdampak besar dapat menimbulkan kecemasan bagi pekerja. Mulailah dengan percakapan ringan agar suasana mencair. Hindari kata-kata pemicu seperti “pelanggaran”, “kecurangan”, atau “fraud”. Gunakan kata yang lebih netral seperti “peninjauan”, “analisis”, atau “pemeriksaan”.
4) Kendalikan Jalannya Wawancara
Wawancara harus tetap terkendali dan fokus. Lokasi sebaiknya bebas gangguan. Buat daftar pertanyaan yang relevan, tetapi jangan membuat percakapan menjadi kaku.
5) Berikan Waktu yang Cukup untuk Menjawab
Kesalahan umum investigator adalah mengajukan pertanyaan, lalu langsung menjawab sendiri. Tujuan wawancara adalah mendengarkan. Setelah bertanya, diamkan, dan biarkan keheningan mendorong orang untuk berbicara lebih banyak. Semakin banyak mereka berbicara, semakin banyak informasi yang bisa diperoleh.
6) Perhatikan Komunikasi Nonverbal
Investigator harus jeli terhadap sinyal nonverbal yang bisa menunjukkan ketidakjujuran, misalnya:
a. gerakan gelisah atau merapikan diri berlebihan ketika menjawab,
b. menghindari kontak mata,
c. memainkan benda di meja,
d. napas berat, detak jantung cepat, atau sangat gugup.
Namun sinyal ini tidak boleh ditafsirkan secara terpisah. Harus dilihat sebagai pola keseluruhan.
7) Cara Menutup Wawancara
Saat menutup wawancara, investigator harus:
a. mengulang atau memparafrase poin penting untuk memastikan tidak ada salah pemahaman,
b. menjaga agar suasana tetap positif,
c. menyampaikan bahwa mungkin akan ada wawancara lanjutan.
Sering kali, investigator memperoleh informasi tambahan jika memberi kesempatan kedua, misalnya dengan bertanya, “Menurut Anda, apa yang kemungkinan besar terjadi…?”
Jenis Human Error dan Perbaikannya
Kesimpulan “human error” tidak boleh digunakan hanya karena ingin cepat menyelesaikan masalah tanpa melakukan investigasi yang memadai sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, untuk menetapkan tindakan perbaikan yang tepat, kita membutuhkan model analisis yang dapat membantu membedakan kejadian yang diduga human error. Model ini juga membantu menentukan apakah ada faktor lain yang menjadi penyebab sebenarnya, seperti pelatihan yang kurang, SOP yang tidak jelas, dan sebagainya.
Salah satu model yang sering digunakan adalah Skills–Rules–Knowledge / Generic Error Modeling System. Model ini sederhana namun efektif untuk memisahkan mana yang benar-benar human error dan mana yang sebenarnya dipicu oleh masalah sistem.
A. Error: Action not as Planned (Tindakan Tidak Berjalan seperti yang Direncanakan)
Seseorang tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Error jenis ini disebabkan oleh Skill-based Mistake (kesalahan berbasis keterampilan). Kesalahan yang terjadi karena kurang fokus, perhatian teralihkan, atau melakukan pekerjaan rutin secara otomatis tanpa sadar detailnya.
1) Slip / Commission (Melakukan Tindakan Fisik yang Salah)
Tindakan fisik sederhana yang sering dilakukan tiba-tiba salah. Contoh sederhana antara lain salah menuang bahan, menekan tombol yang tidak tepat, dsb.
Penanganan yang tepat:
a. Mendesain ulang alat/area kerja: tombol berbeda warna/ukuran, layout lebih intuitif.
b. Mengurangi keharusan melakukan tindakan cepat pada kondisi tekanan.
c. Mengatur shift kerja agar tidak kelelahan.
d. Menambahkan konfirmasi sistem, misal: “apa anda yakin?”.
Fokus Penanganan: Optimalkan desain fisik dan ergonomi proses.
2) Lapse / Omission (Lupa / melewatkan suatu tindakan)
Kesalahan akibat lupa melakukan langkah penting karena gangguan memori jangka pendek. Contoh dari kesalahan ini antara lain: lupa menandai checklist, lupa memasang label, lupa menyimpan catatan.
Penanganan yang tepat:
a. Sediakan checklist langsung di area kerja.
b. Buat reminder otomatis (sistem, alarms).
c. Sediakan ruang kerja yang tenang.
d. Hindari prosedur yang mengandalkan ingatan operator.
Fokus Penanganan: Mengurangi beban memori dan mencegah kelupaan melalui sistem.
B. Error: Action as Planned (Tindakan dilakukan sesuai Rencana, tetapi Rencananya yang Salah)
Orang tersebut melakukan hal yang salah karena yakin itu benar.
1) Rule-based Mistake (Kesalahan Berbasis Aturan)
Penggunaan aturan yang tidak tepat, penerapan aturan yang salah, atau aturan yang digunakan memang sudah tidak benar. Contoh kesalahan antara lain: menggunakan SOP lama, salah menafsirkan instruksi, dsb.
Penanganan yang tepat:
a. Kaji dan revisi SOP agar jelas, mudah dipahami, dan up-to-date.
b. Harmonisasi istilah antar-dokumen.
c. Pelatihan ulang berbasis praktik untuk menguatkan interpretasi.
d. Sediakan Q&A atau guidance visual (diagram alur SOP).
e. Pastikan akses dokumen cepat & mudah.
Fokus penanganan: Perbaikan kualitas SOP dan sistem dokumentasi, bukan menyalahkan individu.
2) Knowledge-based Mistake (Kesalahan Berbasis Pengetahuan)
Kesalahan muncul karena kurangnya pengetahuan, analisis yang keliru, atau salah memahami situasi teknis. Contoh: salah menentukan penyebab kerusakan alat, salah menghitung dosis, salah membaca grafik proses.
Penanganan yang tepat:
a. Pemberian pelatihan lanjutan (advanced technical training).
b. Simulasi kasus untuk meningkatkan kemampuan analitis.
c. Memastikan akses terhadap informasi teknis saat bekerja.
d. Meningkatkan pendampingan (mentoring) untuk tugas kompleks.
e. Menyederhanakan instruksi untuk kondisi non-rutin.
Fokus penanganan: peningkatan kapasitas pengetahuan dan kemampuan analisis.
2. Deliberate (Kesengajaan / Tindakan Sadar)
Penyimpangan dari aturan atau prosedur, yang dilakukan dengan secara sadar, atau disebut disebut juga sebagai violation / noncompliance (pelanggaran / ketidakpatuhan). Alasan umum yang melatarbelakangi kejadian ini antara lain ingin lebih cepat (shortcut), tekanan kerja tinggi, budaya organisasi yang permisif, SOP tidak praktis atau membingungkan, persepsi bahwa risiko tidak besar.
Contoh dari kesalahan dapat berupa: mem-bypass alarm, tidak mencatat penyimpangan, menggunakan peralatan tanpa izin, atau sengaja melewati langkah verifikasi.
Ini bukan human error, tetapi tindakan disengaja, sehingga penanganannya berbeda total. Penanganan yang tepat berupa gabungan dari hal berikut:
1) Investigasi akar penyebab berbasis sistem, bukan menyalahkan langsung individu.
a. Apakah SOP terlalu rumit?
b. Apakah target kerja tidak realistis?
c. Apakah budaya organisasi buruk?
2) Perbaikan budaya mutu (Quality Culture):
a. Zero tolerance untuk shortcut.
b. Kepemimpinan aktif dalam menegakkan aturan.
3) Penegakan disiplin proporsional bila pelanggaran terbukti disengaja.
4) Meningkatkan kepraktisan SOP agar tidak memaksa orang mengambil shortcut.
5) Komunikasi risiko yang jelas agar pekerja paham dampaknya terhadap pasien.
Ringkasan Jenis dan Perbaikan Atas Kejadian Human Failure
Referensi
Rodríguez-Pérez, J. (2011). CAPA for the FDA-Regulated Industry. Milwaukee, WI: ASQ Quality Press, American Society for Quality.
Rodriguez, J. (2016). CAPA in the Pharmaceutical and Biotech Industries. Woodhead Publishing Series in Biomedicine, No. 33. Oxford: Elsevier Ltd.
Stevens, L. & Dense, B. The Guide to CAPA & Root Cause Analysis in FDA-Regulated Industries. The FDA Group.
Disclaimer: tulisan ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk kebutuhan parafrase narasi/teks.